Seiring berjalannya waktu, inovasi teknologi senantiasa mencerminkan hasrat manusia untuk menciptakan sesuatu yang melebihi diri mereka sendiri. Salah satu hasrat yang paling signifikan yang muncul yaitu impian agar mesin memiliki kemampuan berpikir seperti manusia. Hasrat ini telah melahirkan cabang ilmu yang kita sebut sebagai Kecerdasan Buatan atau AI. Menarik untuk dicatat, meskipun istilah AI mulai populer pada pertengahan abad kedua puluh, konsep mengenai mesin yang berpikir sebenarnya sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu, bahkan sejak era Yunani kuno.
Ketika melacak jejak sejarah, para filsuf Yunani seperti Aristoteles telah mengemukakan gagasan tentang logika formal, yakni sistem kaidah yang dapat digunakan untuk menilai keabsahan suatu argumen. Walaupun pada saat itu belum ada komputer, konsep logika ini kemudian menjadi dasar penting bagi pengembangan algoritma dalam pemrograman. Di waktu yang berdekatan, kita juga menemukan berbagai mitologi yang menceritakan automaton atau makhluk buatan yang mampu bergerak dengan sendirinya. Sebagai contoh, dalam mitologi Yunani, Hephaestus, dewa pandai besi, digambarkan menciptakan makhluk mekanis yang mampu berfungsi layaknya manusia. Imajinasi tersebut seolah menjadi cerminan awal dari ambisi manusia untuk memberikan "jiwa" pada mesin.
Memasuki periode abad pertengahan, eksperimen pada mesin yang bergerak otomatis semakin jelas terlihat. Ilmuwan Muslim, Al-Jazari, merancang berbagai alat mekanik yang beroperasi dengan prinsip yang sangat mendasar, termasuk automaton yang menyerupai manusia. Selanjutnya, pada abad ke-17, René Descartes menyamakan tubuh manusia dengan sebuah mesin, sedangkan Thomas Hobbes berpendapat bahwa proses berpikir sebenarnya adalah bentuk perhitungan. Kedua pandangan filosofi ini memperkuat ide bahwa suatu saat, pikiran manusia mungkin dapat direplikasi oleh sebuah sistem buatan. Kemudian, pada abad ke-19, Charles Babbage dan Ada Lovelace memperkenalkan ide mesin analitis yang dianggap sebagai nenek moyang dari komputer modern. Lovelace bahkan mencatat bahwa mesin kelak dapat digunakan tidak hanya untuk perhitungan, melainkan juga untuk menciptakan musik atau pola yang rumit, sebuah visi yang sangat cemerlang.
Sejarah kecerdasan buatan yang modern benar-benar dimulai pada abad ke-20 dengan temuannya komputer digital. Alan Turing, seorang matematikawan yang brilian, mengajukan pertanyaan yang memprovokasi dalam makalah yang ditulisnya pada tahun 1950: "Dapatkah mesin berpikir? " Ia juga memperkenalkan konsep Uji Turing sebagai cara untuk menentukan apakah sebuah mesin dapat dianggap cerdas jika mampu meniru interaksi manusia sedemikian rupa hingga lawan bicaranya tidak dapat membedakan antara mesin dan manusia. Pemikiran Turing membuka jalan bagi lahirnya bidang baru yang dikenal dengan nama Kecerdasan Buatan.
Peristiwa penting terjadi pada tahun 1956 dalam sebuah konferensi ilmiah di Dartmouth College, Amerika Serikat. John McCarthy, seorang ilmuwan komputer, pertama kalinya memperkenalkan istilah "Kecerdasan Buatan" untuk menjelaskan bidang studi yang sedang berkembang tersebut. Konferensi di Dartmouth itu juga melibatkan tokoh-tokoh terkemuka lain seperti Marvin Minsky, Claude Shannon, dan Herbert Simon. Dari pertemuan ini muncul harapan bahwa mesin yang cerdas akan segera terwujud dan mampu bersaing dengan kecerdasan manusia dalam waktu yang relatif singkat.
Harapan yang ada antara dekade 1950 hingga 1970-an menghasilkan banyak inovasi. Herbert Simon dan Allen Newell menciptakan program Logic Theorist yang dapat membuktikan teorema matematika yang sederhana. Di MIT, Joseph Weizenbaum mengembangkan ELIZA, suatu program percakapan yang sederhana yang meniru cara terapis berbicara. Publik yang berinteraksi dengan ELIZA sering kali merasa terkesan karena merasakan bahwa mereka “didengar” oleh komputer, meskipun pada kenyataannya program itu hanya mengulang pola kata dari penggunanya. Pada periode itu, banyak laboratorium penelitian AI bermunculan di universitas ternama dan pemerintah Amerika Serikat menginvestasikan dana yang signifikan untuk penelitian AI, khususnya untuk kepentingan militer.
Namun, perjalanan kecerdasan buatan tidak selalu berjalan dengan lancar. Ketika memasuki akhir tahun 1970-an hingga dekade 1980-an, banyak proyek AI tidak memenuhi harapan yang diinginkan. Saat itu, kemampuan komputer masih terbatas untuk menjalankan algoritma yang rumit, sehingga banyak sistem AI hanya dapat beroperasi di lingkungan laboratorium dan tidak mampu diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kekecewaan ini menyebabkan pendanaan untuk penelitian AI mengalami penurunan signifikan, sebuah fase yang kini dikenal sebagai “Musim Dingin AI”. Meskipun demikian, tidak semua penelitian berhenti sepenuhnya. Di tahun 1980-an, sistem pakar mulai diterapkan dalam sektor medis dan industri, meskipun masih dalam skala yang terbatas.
Kebangkitan AI mulai terasa kembali pada tahun 1990-an. Kemajuan dalam kapasitas komputer, perkembangan algoritma machine learning, dan munculnya jaringan saraf tiruan yang lebih efisien mengembalikan perhatian kepada AI. Pada tahun 1997, dunia terkejut ketika superkomputer Deep Blue milik IBM berhasil mengalahkan Garry Kasparov, sang juara dunia catur. Kemenangan ini menandakan bahwa AI mampu menguasai strategi yang sangat rumit dan bahkan mengalahkan pakar terbaik manusia di cabang tersebut.
Memasuki awal abad ke-21, pertumbuhan AI semakin cepat berkat tiga elemen penting: tersedianya big data, kemajuan perangkat keras terutama GPU, dan kebangkitan metode deep learning. Data dalam volume besar yang dihasilkan dari internet, media sosial, dan perangkat digital menjadi "bahan bakar" esensial bagi AI untuk belajar. GPU memungkinkan pelatihan model AI berlangsung jauh lebih cepat dibandingkan dengan prosesor biasa. Sementara itu, deep learning yang dipelopori oleh tokoh seperti Geoffrey Hinton, Yann LeCun, dan Yoshua Bengio memungkinkan AI mengenali gambar, suara, dan bahasa dengan tingkat akurasi yang sangat tinggi.
Sebagai hasilnya, AI mulai meresap ke dalam rutinitas sehari-hari manusia. Smartphone sekarang dilengkapi dengan asisten virtual seperti Siri, Alexa, dan Google Assistant. Layanan penerjemahan otomatis seperti Google Translate mampu menjembatani komunikasi antar bahasa. Platform hiburan seperti YouTube, Netflix, atau TikTok memanfaatkan AI untuk merekomendasikan konten sesuai minat pengguna. Di sektor transportasi, perusahaan seperti Tesla mengembangkan kendaraan otonom yang sepenuhnya dikendalikan oleh sistem AI. Puncaknya, pada tahun 2016, program AlphaGo dari DeepMind berhasil mengalahkan juara dunia Go, Lee Sedol, dalam sebuah pertandingan yang terkenal jauh lebih kompleks dibandingkan permainan catur.
Saat ini, AI telah memasuki babak yang lebih menakjubkan dengan munculnya generative AI. Model bahasa seperti ChatGPT dapat menghasilkan teks yang sangat alami, sementara DALL·E, MidJourney, dan Stable Diffusion dapat menciptakan gambar realistis hanya berdasarkan deskripsi verbal. AI kini bukan sekadar alat bantu, tetapi telah menjadi kreator yang mampu menulis, menggambar, bahkan menciptakan musik.
Akan tetapi, seiring dengan kemajuan ini, muncul pula tantangan yang signifikan. Isu etika menjadi fokus perhatian karena AI dapat membawa bias jika data yang digunakan tidak netral. Penggunaan AI di dunia kerja juga memunculkan kekhawatiran akan hilangnya berbagai pekerjaan manusia. Lebih jauh, para ilmuwan memperdebatkan kemungkinan munculnya Artificial General Intelligence (AGI), yaitu AI yang benar-benar mampu berpikir seperti manusia. Pertanyaan filosofis pun muncul: apakah kita sudah siap jika suatu saat mesin benar-benar mencapai kesadaran?
Sejarah kecerdasan buatan menunjukkan bahwa evolusi teknologi ini tidaklah linier, melainkan dipenuhi oleh fluktuasi yang kontras. Dari cerita mitologis yang kuno hingga perangkat komputer modern, dari harapan yang melambung tinggi hingga periode kekecewaan, dari kekalahan Kasparov hingga kemenangan yang diraih AlphaGo, perjalanan kecerdasan buatan adalah cerminan dari impian manusia yang tiada henti untuk menciptakan sesuatu yang melampaui potensi dirinya. Saat ini, kita menjumpai kecerdasan buatan sebagai bagian integral dari kehidupan sehari-hari, dan mungkin di masa depan kita akan memasuki suatu era di mana mesin tidak hanya memiliki kecerdasan, tetapi juga benar-benar dapat memahami dunia seperti halnya manusia.

Komentar
Posting Komentar