Persiapan dan Awal Pendakian
Pendakian saya dimulai dari basecamp di Desa Wih Pesam. Saat itu pagi masih dingin, kabut tipis menyelimuti kebun kopi yang menjadi ciri khas Bener Meriah. Udara begitu segar, seolah mengingatkan saya bahwa perjalanan ini akan penuh tantangan, tetapi juga penuh keindahan.
Melangkah dari basecamp menuju Pos I, jalur masih ramah dengan lintasan melewati perkebunan kopi. Bau harum biji kopi yang semerbak di udara membuat saya merasa ditemani, meski sejatinya saya mendaki seorang diri. Sesekali saya berhenti, menoleh ke belakang, menikmati hamparan hijau kebun dan perkampungan yang mulai mengecil di kejauhan. Ada rasa haru yang muncul—ini adalah awal dari petualangan saya menaklukkan Burni Telong sendirian.
Dari Pos I menuju Pos II, jalur mulai menanjak dan masuk ke hutan tropis. Pohon-pohon tinggi menjulang, cahaya matahari hanya menembus sedikit dari celah dedaunan, menciptakan suasana teduh sekaligus sunyi. Di sinilah rasa sepi benar-benar terasa. Hanya suara langkah kaki saya di atas tanah lembap, disertai kicauan burung liar dan hembusan angin yang menyusup di antara pepohonan.
Rasa was-was sempat muncul. Bagaimana jika saya tersesat? Bagaimana kalau terjadi sesuatu? Tapi, setiap kali keraguan datang, saya meyakinkan diri bahwa perjalanan ini adalah ujian mental. Mendaki seorang diri memang menuntut keberanian lebih, tetapi justru itulah yang membuatnya istimewa.
Setelah melewati hutan rapat, jalur menuju Pos III mulai terbuka. Vegetasi lebih rendah, dan pandangan mulai luas. Dari titik ini, pemandangan pegunungan Aceh Tengah mulai tersingkap. Saya bisa melihat perbukitan hijau yang seolah tak berujung, dengan kabut tipis yang bergerak pelan di antaranya. Angin berhembus lebih kencang, membawa hawa dingin khas pegunungan.
Langkah kaki semakin berat, tapi hati terasa ringan karena setiap tanjakan selalu menghadirkan bonus pemandangan indah. Saya sempat berhenti lama di jalur ini, duduk di sebuah batu besar, sekadar mengatur napas sambil menikmati panorama yang menakjubkan.
Dari Pos III menuju puncak, jalur semakin menantang. Medannya didominasi pasir dan bebatuan vulkanik yang mudah longsor jika tidak hati-hati. Aroma belerang semakin kuat tercium, tanda bahwa kawah Burni Telong sudah dekat. Rasa lelah bercampur dengan semangat yang menggebu—seperti ada magnet kuat yang menarik saya untuk terus melangkah.
Dan akhirnya, setelah perjalanan sekitar lima jam, saya tiba di puncak Burni Telong. Pemandangan yang tersaji benar-benar membuat saya terdiam. Di depan mata, terbentang kawah aktif yang masih mengepulkan asap putih. Di sisi lain, hamparan perbukitan Gayo terlihat jelas, sementara Danau Lut Tawar tampak samar jauh di kejauhan.
Namun yang paling menggetarkan hati adalah saat kabut tebal bergerak perlahan dari lembah, lalu menyelimuti puncak. Dalam sekejap, saya seolah berada di negeri dongeng—dunia di atas awan. Lautan awan putih menghampar sejauh mata memandang, dengan puncak-puncak kecil yang muncul seperti pulau terapung. Saat itu, saya merasa sangat kecil di hadapan ciptaan Tuhan yang begitu megah. Saya duduk lama di puncak, merasakan setiap hembusan angin dingin, menghirup aroma belerang, dan menikmati panorama langka ini. Ada rasa syukur yang begitu dalam, rasa lega karena berhasil sampai, dan rasa bangga karena semua itu saya jalani seorang diri.
Pendakian solo ke Gunung Burni Telong bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan batin. Saya belajar menghadapi kesepian, mengalahkan rasa takut, dan menikmati kebersamaan dengan alam. Di jalur hutan yang sunyi saya belajar tenang, di tanjakan berbatu saya belajar sabar, dan di puncak yang diselimuti awan saya belajar bersyukur.
Bagi saya, Burni Telong tidak hanya sekadar gunung. Ia adalah tempat untuk merenung, tempat untuk belajar, dan tempat untuk membuktikan bahwa setiap langkah kecil bisa membawa kita ke puncak, asal dijalani dengan tekad yang kuat.
🌄 Itulah catatan perjalanan saya, Afdhal, dalam mendaki Gunung Burni Telong seorang diri. Jika kamu pecinta alam dan siap menghadapi tantangan, cobalah menapaki jalur Burni Telong. Siapa tahu, kamu juga bisa menemukan versi “dunia di atas awan”-mu sendiri di sana.
#Di puncak Burni Telong, saat lautan awan terbentang, saya belajar bahwa kebahagiaan sering datang setelah rasa lelah yang panjang.
Komentar
Posting Komentar